Malu Menurut Alquran dan Assunah
PengertianMenurut
bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang
terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela. Adapun asal kata
al-hayaa u (malu) berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga berasal
dari kata al-hayaa (air hujan). Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq
yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan
perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan
menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah. Makna tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi shollallahu’alaihi wassallam, “Sesungguhnya
termasuk yang didapati manusia dari perkataan para nabi terdahulu
adalah, ‘Jika engkau tidak malu maka lakukanlah sekehendakmu’”[1] Terdapat beberapa penjelasan ulama mengenai hadits ini, diantaranya [2]
ertama, bentuk hadits di atas adalah perintah tapi maksudnya adalah
pemberitaan. Hal ini di karenakan sebagai pencegah utama agar manusia
tidak terjerumus ke dalam kejahatan adalah sifat malunya. Maka jika ia
meninggalkan sifat malunya, ia seakan-akan di perintahkan untuk
mengerjakan semua larangan. Kedua, hadits di atas merupakan ancaman,
artinya lakukan apa saja yang kau inginkan karena sesungguhnya Allah
akan membalas semua perbuatanmu. Ketiga, lihatlah kepada apa yang ingin
engkau lakukan. Jika tidak termasuk yang membuat malu maka lakukanlah,
jika termasuk yang membuat malu, maka tinggalkanlah. Keempat, hadits di
atas mendorong pada sifat malu dan memuji keutamaannya. Artinya karena
seseorang tidak boleh berprilaku semata-mata mengikuti kehendak hatinya,
maka ia tidak boleh meninggalkan sifat malunya. Dari penjelasan di atas
diketahui bahwa malu membatasi antara seorang hamba dengan semua
larangan atau kemaksiatan. Maka dengan kuatnya rasa malu makin lemahlah
kecenderungan seseorang untuk terjerumus dalam kemaksiatan. Sebaliknya
dengan lemahnya rasa malu makin kuatlah keinginan seseorang untuk
melakukan kemaksiatan. Malu adalah Ciri Khas Keutamaan
ManusiaKetahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri
dari keinginan-keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang.
Ingatlah ketika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang lalu
nampaklah aurat keduanya. “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk
memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah merasai buah
kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru
mereka: “Bukankah Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan
Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi kamu berdua?” (Qs. Al-A’raaf : 22) Dari ayat di atas
menunjukkan bahwa secara fitrah manusia merasa malu jika tidak
berpakaian. Dan tidaklah manusia itu memamerkan auratnya tanpa pakaian
kecuali fitrahnya telah rusak. Sedangkan rusaknya fitrah adalah akibat
gangguan iblis dan tentaranya.[3] Adapun
orang yang berupaya menelanjangi badan dari pakaian, melucuti jiwa dari
pakaian ketakwaan dan menghilangkan sifat malu kepada Allah dan
manusia, mereka itulah yang menginginkan manusia lepas dari fitrahnya
dan sifat-sifat kemanusiaannya. Padahal dengan fitrah dan sifat
kemusiaannya itulah ia di sebut sebagai manusia. Sesungguhnya telanjang
adalah sifat asli dari hewan, manusia tidak punya kecenderungan
kepadanya, jika sampai ada tentulah akan terjerumus dalam Lumpur
kehewanan. Anehnya, para pembantu syaitan yang hidup di tengah-tengah
kaum muslimin memberikan nama-nama kepada para muslimah di rumah, di
jalan, di sekolah atau di mana saja yang mengenakan jilbab, kerudung
atau baju yang tebal, julukan yang menyakitkan (fanatik, ortodok dan
lainnya). Padahal wanita muslimah tidak mengenakannya kecuali untuk
menjaga kemuliaannya, menjaga auratnya dan agar tumbuh darinya seluruh
fitrah islami yang murni, serta agar jelas perbedaan dirinya dengan
mereka yang telanjang seperti hewan. Perhatikanlah, dampak yang di
timbulkan dari tempat-tempat mode, para desainer pakaian, salon-salon
rias dan guru-gurunya terhadap kaum muslimah jaman sekarang, mereka
melancarkan tipu daya dengan berbagai corak dan rupa, sebagaiman firman
Allah Ta’ala,“… dan akan aku (syaitan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya…”
(Qs. An-Nisa’ : 119) Ajakan tipu daya tersebut dituruti saja oleh para
wanita yang terbiasa berbusana ‘telanjang’. Ketaatan seperti itu
menghinakan pelakunya dan sekaligus membuat orang tertawa dan menangis.
Merekalah wanita-wanita yang terbius, terbujuk, terpedaya oleh tipu daya
syaitan berwujud manusia. Bahkan bisa jadi hewan yang hina sekalipun
ikut menjelek-jelekan perilaku mereka yang mengikuti tren. Mereka tidak
menyadari bahwa mereka hanyalah digunakan sebagai propaganda obyek
bisnis, apabila sudah tidak berguna lagi maka dicampakkan. Disisi lain
mereka juga dijadikan sarana pemuas syahwat terlarang yang merusak
keluarga. Tampil dalam lembaran-lembaran majalah, filem-filem,
kisah-kisah dan berita-berita dalam surat kabar. Seolah-olah majalah,
surat kabar atau yang lainnya dikemas sebagai tempat pelacuran yang
berpindah-pindah. Jika ada wanita yang ingin menjaga kehormatannya,
mereka tatap dengan pandangan penuh kebencian bagaikan penglihatan orang
yang pingsan karena takut mati. Wahai Saudariku janganlah engkau
menjadi penolong syaitan yang celaka dan berpegang teguhlah pada Agama
Allah dan kekuasaan-Nya. Jenis-Jenis Malu Terdapat banyak jenis-jenis
malu, diantaranya : Malu kepada Allah,Ketahuilah sesungguhnya celaan
Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah subhanahu wata’ala itu
diatas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh
Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh
Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain. Malu
kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan
menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut di
cela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula
mendekati kemaksiatan. Oleh karena itulah malu merupakan sebagian dari
iman. Nabi shollallahu’alaihi wassallam bersabda, “Iman itu memiliki
tujuh puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha
illallah (tiadak illah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah),
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan
rasa malu termasuk salah satu cabang iman.”[4] Malu
kepada Manusia,Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia
kepda sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada
orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai,
serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin
menikah. “Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, bahwasannya ia berkata, ‘wahai Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam, sesungguhnya gadis itu malu. Maka Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Persetujuannya diketahui dari diamnya’”. Malunya
seseorang terhadap dirinya,Dan ini salah satu bentuk malu yang di
rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak
puas dengan kekurangan , kerendahan dan kehinaan. Karena itu engkau akan
menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri,
seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu
kepada yang lain.Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada
dirinya sendiri saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang
lain. Keutamaan-Keutamaan Sifat Malu Allah mencintai sifat
malu,“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemalu dan Maha Menutupi. Dia
mencintai rasa malu dan ketertutupan.”[5] Malu adalah akhlaq Islam,“Sesungguhnya setiap agama itu berakhlaq, Sedangkan akhlaq agama islam adalah malu.”[6] Termasuk
bagian dari iman,Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu, bahwasannya
Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam melewati seorang laki-laki dari
sahabat Anshar sedang menasehati temannya tetang rasa malu. Lalu
Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam bersabda, “Biarkan ia,
sesungguhnya malu merupakan bagian dari iman”[7] Sifat malu mendatangkan kebaikan,“Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”[8] Sifat
malu menghantarkan ke surga“Malu itu bagian dari iman. Dan iman
tempatnya di surga, sedangkan ucapan keji termasuk bagian dari tabiat
kasar, tabiat kasar itu tempatnya di neraka.”[9]
Perkara-Perkara yang Dapat
Meningkatkan Rasa Malu Muraqabatullaah (merasa terus diawasi
Allah),Kapan saja seorang hamba itu merasa Allah sedang melihat
kepadanya dan berada dekat dengannya, ia akan mendapatkan ilmu ini
(muraqabatullaah) karena rasa malunya kepada Allah. Mensyukuri nikmat
Allah,Sifat malu akan muncul dengan memikirkan nikmat Allah yang tidak
terbatas, pada hakikatnya orang yang berakal akan merasa malu untuk
menggunakan nikmat Allah untuk berbuat maksiat
kepadanya. Perkara-Perkara yang Tidak Termasuk Malu Tidak berkata atau
tidak terang-terangan dalam kebenaran,Allah berfirman,“… dan Allah tidak
malu (menerangkan) yang benar …” (Qs. Al-Ahzaab : 53) Al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (I/52) berkata, “an tidak boleh
dikatakan bahwa bisa jadi malu itu menjadi penghalang untuk berkata yang
benar, atau mengerjakan kebaikan karena malu yang seperti itu bukan
malu yang syar’I (sesuai syariat)” Imam an-Nawawi rahimahullah, dalam
Syahr Shahih Muslim (II/5), “Terjadi masalah pada sebagian orang yaitu
orang yang pemalu kadang-kadang merasa malu untuk memberitahukan
kebaikan kepada orang yang ia hormati. Akhirnya ia meninggalkan amar
ma’ruf nahi munkar. Terkadang sifat malunya membuat ia melalaikan
sebagian apa yang menjadi haknya dan hal-hal lain yang biasa terjadi
dalam kebiasaan sehari-hari.” Malu dalam mencari ilmu’‘Aisyah
berkata,“Sebaik-baik wanita adalah para wanita Anshar. Rasa malu tidak
menghalangi mereka mendalami ilmu agama”[10] Imam
Mujahid rahimahullah berkata, “Tidak akan bisa mencari ilmu (dengan
benar) orang yang malu mencarinya dan orang-orang yang sombong.”[11]
[1]HR. Bukhari dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu (Fathul Baari VI/515, X/527)[2]Fathul Baari oleh Ibnu Hajar VI/523, al Minhaaj fi Syu’abil Iiman oleh al-Hulaimi III/232[3]Maqaami’usy Syaithaan (hal 25-26) oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali,[4]HR
Bukhari (Fathul Baari I/51), HR Muslim (Syahr An-Nawawi I/6), lafadz
di atas milik Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu.[5]Hadits Shahih riwayat Abu Dawud (4012), an-Nasa-I (I/200), Ahmad (IV/224) dari Ya’la bin Umayyah radhiallahu’anhu.[6]Hadits
Hasan riwayat Ibnu Majah (4181), al-Khara-ithi dalam Makaarimul
Akhlaaq (49), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghiir (I/13-14) hadits
dari Anas.[7]HR. Bukhari (Fathul Baari X/521), Muslim Syahr an-Nawawi II/6-7) [8]HR. Bukhari (Fathul Baari I/74)[9]Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Hibban 1929, al-Hakim I/52, Ahmad II/501 dari banyak jalan.[10]Fathul Baari (I/228), Syarah Shahih Muslim li Imam an-Nawawi (IV/15-16)[11]Fathul Baari (I/228)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar