Kamis, 07 Maret 2013

Malu Menurut Alquran dan Assunah

PengertianMenurut bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela. Adapun asal kata al-hayaa u (malu) berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga berasal dari kata al-hayaa (air hujan). Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah.  Makna tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi shollallahu’alaihi wassallam, “Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu maka lakukanlah sekehendakmu’[1]   Terdapat beberapa penjelasan ulama mengenai hadits ini, diantaranya [2] :P ertama, bentuk hadits di atas adalah perintah tapi maksudnya adalah pemberitaan. Hal ini di karenakan sebagai pencegah utama agar manusia tidak terjerumus ke dalam kejahatan adalah sifat malunya. Maka jika ia meninggalkan sifat malunya, ia seakan-akan di perintahkan untuk mengerjakan semua larangan. Kedua, hadits di atas merupakan ancaman, artinya lakukan apa saja yang kau inginkan karena sesungguhnya Allah akan membalas semua perbuatanmu. Ketiga, lihatlah kepada apa yang ingin engkau lakukan. Jika tidak termasuk yang membuat malu maka lakukanlah, jika termasuk yang membuat malu, maka tinggalkanlah. Keempat, hadits di atas mendorong pada sifat malu dan memuji keutamaannya. Artinya karena seseorang tidak boleh berprilaku semata-mata mengikuti kehendak hatinya, maka ia tidak boleh meninggalkan sifat malunya. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa malu membatasi antara seorang hamba dengan semua larangan atau kemaksiatan. Maka dengan kuatnya rasa malu makin lemahlah kecenderungan seseorang untuk terjerumus dalam kemaksiatan. Sebaliknya dengan lemahnya rasa malu makin kuatlah keinginan seseorang untuk melakukan kemaksiatan. Malu adalah Ciri Khas Keutamaan ManusiaKetahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari keinginan-keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang. Ingatlah ketika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang lalu nampaklah aurat keduanya. “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (Qs. Al-A’raaf : 22) Dari ayat di atas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia merasa malu jika tidak berpakaian. Dan tidaklah manusia itu memamerkan auratnya tanpa pakaian kecuali fitrahnya telah rusak. Sedangkan rusaknya fitrah adalah akibat gangguan iblis dan tentaranya.[3] Adapun orang yang berupaya menelanjangi badan dari pakaian, melucuti jiwa dari pakaian ketakwaan dan menghilangkan sifat malu kepada Allah dan manusia, mereka itulah yang menginginkan manusia lepas dari fitrahnya dan sifat-sifat kemanusiaannya. Padahal dengan fitrah dan sifat kemusiaannya itulah ia di sebut sebagai manusia. Sesungguhnya telanjang adalah sifat asli dari hewan, manusia tidak punya kecenderungan kepadanya, jika sampai ada tentulah akan terjerumus dalam Lumpur kehewanan.  Anehnya, para pembantu syaitan yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin memberikan nama-nama kepada para muslimah di rumah, di jalan, di sekolah atau di mana saja yang mengenakan jilbab, kerudung atau baju yang tebal, julukan yang menyakitkan (fanatik, ortodok dan lainnya). Padahal wanita muslimah tidak mengenakannya kecuali untuk menjaga kemuliaannya, menjaga auratnya dan agar tumbuh darinya seluruh fitrah islami yang murni, serta agar jelas perbedaan dirinya dengan mereka yang telanjang seperti hewan. Perhatikanlah, dampak yang di timbulkan dari tempat-tempat mode, para desainer pakaian, salon-salon rias dan guru-gurunya terhadap kaum muslimah jaman sekarang, mereka melancarkan tipu daya dengan berbagai corak dan rupa, sebagaiman firman Allah Ta’ala,“… dan akan aku (syaitan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya…” (Qs. An-Nisa’ : 119) Ajakan tipu daya tersebut dituruti saja oleh para wanita yang terbiasa berbusana ‘telanjang’. Ketaatan seperti itu menghinakan pelakunya dan sekaligus membuat orang tertawa dan menangis. Merekalah wanita-wanita yang terbius, terbujuk, terpedaya oleh tipu daya syaitan berwujud manusia. Bahkan bisa jadi hewan yang hina sekalipun ikut menjelek-jelekan perilaku mereka yang mengikuti tren. Mereka tidak menyadari bahwa mereka hanyalah digunakan sebagai propaganda obyek bisnis, apabila sudah tidak berguna lagi maka dicampakkan. Disisi lain mereka juga dijadikan sarana pemuas syahwat terlarang yang merusak keluarga. Tampil dalam lembaran-lembaran majalah, filem-filem, kisah-kisah dan berita-berita dalam surat kabar. Seolah-olah majalah, surat kabar atau yang lainnya dikemas sebagai tempat pelacuran yang berpindah-pindah. Jika ada wanita yang ingin menjaga kehormatannya, mereka tatap dengan pandangan penuh kebencian bagaikan penglihatan orang yang pingsan karena takut mati. Wahai Saudariku janganlah engkau menjadi penolong syaitan yang celaka dan berpegang teguhlah pada Agama Allah dan kekuasaan-Nya. Jenis-Jenis Malu Terdapat banyak jenis-jenis malu, diantaranya : Malu kepada Allah,Ketahuilah sesungguhnya celaan Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah subhanahu wata’ala itu diatas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah.  Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain. Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut di cela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Oleh karena itulah malu merupakan sebagian dari iman. Nabi shollallahu’alaihi wassallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha illallah (tiadak illah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu termasuk salah satu cabang iman.[4] Malu kepada Manusia,Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia kepda sebagian yang lain.  Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin menikah. “Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, bahwasannya ia berkata, ‘wahai Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam, sesungguhnya gadis itu malu. Maka Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Persetujuannya diketahui dari diamnya’”. Malunya seseorang terhadap dirinya,Dan ini salah satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan , kerendahan dan kehinaan. Karena itu engkau akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain.Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang lain. Keutamaan-Keutamaan Sifat Malu Allah mencintai sifat malu,“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemalu dan Maha Menutupi. Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan.”[5] Malu adalah akhlaq Islam,“Sesungguhnya setiap agama itu berakhlaq, Sedangkan akhlaq agama islam adalah malu.”[6] Termasuk bagian dari iman,Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu, bahwasannya Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam melewati seorang laki-laki dari sahabat Anshar sedang menasehati temannya tetang rasa malu. Lalu Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam bersabda, “Biarkan ia, sesungguhnya malu merupakan bagian dari iman”[7] Sifat malu mendatangkan kebaikan,“Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”[8] Sifat malu menghantarkan ke surga“Malu itu bagian dari iman. Dan iman tempatnya di surga, sedangkan ucapan keji termasuk bagian dari tabiat kasar, tabiat kasar itu tempatnya di neraka.”[9]
Perkara-Perkara yang Dapat Meningkatkan Rasa Malu Muraqabatullaah (merasa terus diawasi Allah),Kapan saja seorang hamba itu merasa Allah sedang melihat kepadanya dan berada dekat dengannya, ia akan mendapatkan ilmu ini (muraqabatullaah) karena rasa malunya kepada Allah. Mensyukuri nikmat Allah,Sifat malu akan muncul dengan memikirkan nikmat Allah yang tidak terbatas, pada hakikatnya orang yang berakal akan merasa malu untuk menggunakan nikmat Allah untuk berbuat maksiat kepadanya. Perkara-Perkara yang Tidak Termasuk Malu Tidak berkata atau tidak terang-terangan dalam kebenaran,Allah berfirman,“… dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar …” (Qs. Al-Ahzaab : 53) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (I/52) berkata, “an tidak boleh dikatakan bahwa bisa jadi malu itu menjadi penghalang untuk berkata yang benar, atau mengerjakan kebaikan karena malu yang seperti itu bukan malu yang syar’I (sesuai syariat)” Imam an-Nawawi rahimahullah, dalam Syahr Shahih Muslim (II/5), “Terjadi masalah pada sebagian orang yaitu orang yang pemalu kadang-kadang merasa malu untuk memberitahukan kebaikan kepada orang yang ia hormati. Akhirnya ia meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Terkadang sifat malunya membuat ia melalaikan sebagian apa yang menjadi haknya dan hal-hal lain yang biasa terjadi dalam kebiasaan sehari-hari.” Malu dalam mencari ilmu’‘Aisyah berkata,“Sebaik-baik wanita adalah para wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama”[10] Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Tidak akan bisa mencari ilmu (dengan benar) orang yang malu mencarinya dan orang-orang yang sombong.”[11] 


[1]HR. Bukhari dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu (Fathul Baari VI/515, X/527)[2]Fathul  Baari oleh Ibnu Hajar VI/523, al Minhaaj fi Syu’abil Iiman oleh al-Hulaimi III/232[3]Maqaami’usy Syaithaan (hal 25-26) oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali,[4]HR Bukhari (Fathul Baari  I/51), HR Muslim (Syahr An-Nawawi I/6), lafadz di atas milik Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu.[5]Hadits Shahih riwayat Abu Dawud (4012),  an-Nasa-I (I/200),  Ahmad (IV/224) dari Ya’la bin Umayyah radhiallahu’anhu.[6]Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah (4181),  al-Khara-ithi dalam Makaarimul Akhlaaq (49), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghiir (I/13-14) hadits dari Anas.[7]HR. Bukhari (Fathul Baari X/521), Muslim Syahr an-Nawawi II/6-7) [8]HR. Bukhari (Fathul Baari I/74)[9]Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Hibban 1929, al-Hakim I/52, Ahmad II/501 dari banyak jalan.[10]Fathul Baari (I/228), Syarah Shahih Muslim li Imam an-Nawawi (IV/15-16)[11]Fathul Baari (I/228)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar