Kamis, 07 Maret 2013

pembahasan kritis isra' mi'raj

Maha Suci Dia, Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha, yang telah Kami berkati, sekelilingnya supaya Kami perlihatkan kepadanya sebagaian dari Tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia, Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Surah al-Isra)
Ayat ini, yang nampaknya menyebut suatu kasyaf Rasulullah saw., telah dianggap oleh sebagian ahli tafsir Alquran menunjuk kepada Mi’raj (kenaikan rohani) beliau. Berlawanan dengan pendapat umum, kami cenderung kepada pendapat, bahwa ayat ini membahas masalah Isra (perjalanan rohani di waktu malam) Rasulullah saw. dari Mekkah ke Yerusalem dalam kasyaf, sedang Mi’raj beliau telah dibahas agak terperinci dalam Surah An-Najm.
Semua kejadian yang disebut dalam Surah An-Najm (ayat-ayat 8 – 18) yang telah diwahyu kan tidak lama sesudah hijrah ke Abessinia, yang telah terjadi di bulan Rajab tahun ke 5 nabawi, diceriterakan secara terperinci dalam buku-buku hadist yang membahas Miraj Rasulullah saw., sedang Isra Rasulullah saw. dari Mekkah ke Yerusalem, yang dibahas oleh ayat ini, menurut Zurqani terjadi pada tahun ke-11 nabawi ; menurut Muir dan beberapa pengarang Kristen lainnya pada tahun ke-12. Tetapi menurut Mardawaih dan Ibn Sa’d, perintiwa Isra terjadi pada 17 Rabiul-awal, setahun sebelum hijrah (Al-Khashaish al-Kubra) . Baihaqi pun menceriterakan, bahwa Isra itu terjadi setahun atau enam bulan sebelum hijrah.
Dengan demikian semua hadist yang bersangkutan dengan persoalan ini menunjukkan, bahwa Isra itu terjadi setahun atau enam bulan sebelum hijrah, yaitu kira-kita pada tahun ke-12 nabawi, setelah Siti Khadijah wafat, yang terjadi pada tahun ke-10 nabawi, ketika Rasulullah saw. tinggal bersama-sama dengan Ummi Hani, saudari sepupu beliau.
Tetapi Mi’raj, menurut pendapat sebagian terbesar ulama, terjadi kira-kira pada tahun ke-5 nabawi. Dengan demikian dua kejadian itu dipisahkan satu dengan yang lain oleh jarak waktu enam atau tujuh tahun, dan oleh karenanya kedua kejadian itu tidak mungkin sama ; yang satu harus dianggap berbeda dan terpisah dari yang lain. Lagi pula peristiwa-peristiwa yang menurut hadist terjadi dalam Mi’raj Rasulullah saw. sama sekali berbeda dalam sifatnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Isra. Secara sambil lalu dapat disebutkan di sini, bahwa kedua peristiwa itu hanya kejadian-kejadian rohani belaka, dan Rasulullah saw. tidak naik ke langit atau pergi ke Yerusalem dengan tubuh kasar.
Kecuali kesaksian sejarah yang kuat ini, ada pula kejadian-kejadian lain yang berkaitan dengan peristiwa itu mendukung pendapat, bahwa kejadian itu sama sekali berbeda dan terpisah satu sama lain :
Alquran menguraikan kejadian Mi’raj Rasulullah saw. dalam surah 53, tetapi sedikit pun tidak menyinggung Isra, sedang dalam Surah ini Alquran membahas soal Isra, tetapi sedikit pun tidak menyinggung peristiwa Mi’raj.
Ummi Hani, saudari sepupu Rasulullah saw. yang di rumahnya beliau menginap pada malam peristiwa Isra terjadi, hanya membicarakan perjalanan Rasulullah saw. ke Yerusalem, dan sama sekali tidak menyinggung kenaikan beliau ke langit. Ummi Hani itu orang pertama yang kepadanya Rasulullah saw. menceriterakan perjalanan beliau di waktu malam ke Yerusalem, dan paling sedikit tujuh penghimpun riwayat-riwayat hadist telah mengutip keterangan Ummi Hani mengenai kejadian ini, yang bersum-ber pada empat perawi yang berlain-lainan. Semua perawi ini sepakat, bahwa Rasulullah saw. berangkat ke Yerusalem dan pulang kembali ke Mekkah pada malam itu juga.
Jika sekiranya Rasulullah saw. telah membicarakan pula kenaikan beliau ke langit, tentu Ummi Hani tidak akan lupa menyebutkan hal ini dalam salah satu riwayatnya. Tetapi beliau tidak menyebut hal itu dalam satu riwayat pun ; dengan demikian menunjukkan dengan pasti , bahwa pada malam yang bersangkutan itu Rasulullah saw. melakukan Isra hanya sampai Yerusalem ; dan bahwa Mi’raj itu tidak terjadi pada ketika itu. Nampaknya beberapa perawi hadist mencampur baurkan kedua peristiwa Isra dan Mi’raj itu. Rupanya pikiran mereka dikacaukan persamaan yang terdapat pada beberapa uraian terperinci mengenai Isra dan Mi’raj telah menambah dan memperkuat pendapat mereka yang kacau balau itu.
Hadist-hadist yang mula-mula meriwayatkan perjalanan Rasulullah saw. ke Yerusalem dan selanjutnya mengenai kenaikan beliau dari sana ke langit, menyebut pula bahwa di Yerusa lem dan selanjutnya mengenai kenaikan beliau dari sana ke langit, menyebut pula bahwa di Yerusalem beliau bertemu dengan beberapa nabi terdahulu, termasuk Adam as., Ibrahim as., Musa as., dan Isa as. ; dan bahwa di berbagai petala langit beliau menemui nabi-nabi yang itu-itu juga, tetapi tidak dapat mengenal mereka. Bagaimanakah nabi-nabi tersebut, yang telah beliau jumpai di Yerusalem, sampai pula ke langit sebelum beliau; dan mengapa beliau tidak mengenali mereka, sedang beliau telah melihat mereka beberapa saat sebelumnya dalam perjalanan itu-itu juga ? Tidaklah masuk akal, bahwa beliau tidak dapat mengenal mereka, padahal hanya beberapa saat sebelum itu, beliau bertemu dengan mereka dalam perjalanan itu juga.
Masjid Aqsha (masjid yang jauh) menunjuk kepada rumah peribadatan (kenisah) yang didirikan oleh Nabi Sulaiman as. di Yerusalem.
Kasyaf Rasulullah saw. yang disebut dalam ayat ini mengandung suatu nubuatan yang agung. Perjalanan beliau ke “Masjid Aqsha “ berarti hijrah beliau ke Medinah, tempat beliau akan mendirikan suatu masjid, yang ditakdirkan kelak akan menjadi masjid pusat Islam, dan penglihatan diri beliau sendiri dalam kasyaf, bahwa beliau mengimani pada nabi lainnya dalam shalat mengandung arti, bahwa agama baru, ialah Islam, tidak akan terkurung di tempat kelahirannya saja, melainkan akan tersebar ke seantero dunia, dan pengikut-pengikut dari semua agama akan menggabungkan diri kepadanya.
Kepergian beliau ke Yerusalem dalam kasyaf dapat pula dianggap mengandung arti, bahwa beliau akan diberi kekuasaan di masa khilafat (kekhalifahan) Sayyidina Umar ra. Kasyaf ini dapat pula diartikan sebagai petunjuk kepadasuatu perjalanan rohani Rasulullah saw. ke suatu negara jauh, di suatu masa yang akan datang. Maksudnya bahwa ketika kegelapan rohani akan menutupi seluruh dunia, Rasulullah saw. akan muncul kembali secara rohani dalam wujud salah seorang pengikut beliau, dalam satu negara yang sangat jauh dari tempat pertama beliau diutus.
ISRA’ DAN MASA DEPAN UMAT
Oleh ZA Khudori
Pemerhati Masalah-masalah Sosial Keagamaan
Tinggal di Tegineneng, Pesawaran (Lampung)
Kemajuan suatu kaum sesungguhnya telah dinubuatkan (direncanakan) oleh Allah SWT. Termasuk umat Islam. Untuk melukiskan kemajuan umat Islam, Allah SWT telah memperlihatkan sebuah pengalaman rohani yang dikenal dengan istilah Israa’ (memperjalankan di malam hari). Al-Quran mengabadikan pengalaman tersebut dalam Surat 17 (Al-Israa’/Bani Israil): 1, “’Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Dalam muqaddimah Surat ini, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran (SK MENAGRI No. 26 Tahun 1967; Edisi Baru, 1993) menyebutkan bahwa Surat ini dinamakan Al-Israa’ (yang berarti ‘memperjalankan di malam hari’) berhubungan dengan peristiwa Israa’ Nabi Muhammad SAW di Masjidil Haram (Mekkah) ke Mesjidil Aqsha (di Baitul Makdis) dicantumkan pada ayat pertama dalam Surat ini.
Sejarah mencatat bahwa Muhammad bin Abdullah diangkat sebagai Nabi dan diutus sebagai Rasul pada usia 40 tahun (610 M). Lima tahun pertama dalam menjalankan tugasnya telah beriman sebagian kecil kaum Kafir Quraisy. Para pengikut Nabi pada masa awal ini mendapat respon negatif berupa intimidasi dan tindakan kekerasan dari keluarga dan kawan sepermainan mereka. Atas izin Nabi akhirnya para sahabat itu hijrah ke negeri tetangga, Habasyah (Ethiopia) [615 M]. Sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Seorang raja yang memberikan kebebasan dan perlindungan kepada masyarakatnya dalam menjalankan agama dan kepercayaannya.
Meskipun banyak hambatan dan rintangan, perkembangan ajaran Islam terus maju. Istilahnya ‘padat-merayap’ dan ‘maju terus pantang mundur’. Menyikapi hal ini para pembesar Quraisy mengambil sikap tegas yaitu memboikot Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Caranya ialah dengan memutuskan segala perhubungan: hubungan perkawinan, jual-beli, ziarah-menziarahi dan lain-lain (Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya: 1993: 62). Dalam masa pemboikotan ini wafat dua orang tercinta Nabi SAW: Pamanda Abu Thalib (87) dan Istrinda Khadijah (65). Begitu berdukanya Nabi sehingga tahun tersebut (620 M) oleh ahli sejarah dinamakan ‘Aamul Huzni (Tahun Dukacita).
Untuk menenangkan hatinya maka Nabi tinggal bersama sepupunya, Ummu Hani. Seperti reportase ahli sejarah kenamaan Ibnu Ishaq, sejarawan ini melaporkan, “Telah sampai kepada saya dari Ummu Hani binti Abu Thalib (nama aslinya: Hindun) mengenai perjalanan malam (Israa’) Nabi SAW. Katanya, “Nabi SAW hanya mengadakan perjalanan ke Baitul Maqdis ketika berada di rumah saya. Malam itu Nabi SAW tidur di rumah saya dan kami semua sedang tidur” (Fuad Hasyem: 1898: 222).
Dalam keadaan tidur inilah beliau SAW melihat berbagai peritiwa yang Nabi sendiri tuturkan (diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudriy), “Sudah dikirimkan kepada saya seekor hewan dan ia menyerupai bighal (peranakan kuda dengan keledai), Buraq namanya, dan biasa dikendarai oleh para nabi. Buraq itu membawa saya dan ia bisa melangkahkan kaki depannya sejauh mata memandang” (Taufik Rahman: 1990: 62).
Mengenai perjalanan selanjutnya, kita dapat membaca Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik (Ibnu Jarir Juz 15 hlm. 6). Mengingat panjangnya riwayat tersebut maka ringkasannya ialah sebagai berikut: Nabi dan Malaikat Jibril naik Buraq dari Masjid Al-Haran ke Masjid Al-Aqsha. Dalam perjalanan tersebut beliau-beliau bertemu dengan: seseorang yang memanggil-manggil Nabi, beberapa orang yang mengucapkan salam dan beberapa orang lagi melakukan hal yang sama. Dan tibalah beliau-beliau di Baitul Muqaddas. Lalu beliau memimpin shalat di mana makmumnya ialah para nabi. Setelah itu Malaikat Jibril menghadapkan 3 gelas kepada Rasulullah SAW. Gelas pertama berisi air, gelas kedua berisi arak dan gelas ketiga berisi susu. Rasulullah SAW mengambil gelas berisi susu, lalu beliau meminumnya. Setelah itu Malaikat Jibril menjelaskan apa saja makna yang tersirat dari apa yang telah beliau lihat itu (baca: QS 17:60). Peristiwa itu terjadi pada malam 27 Rajab 11 Nubuwwah (setelah beliau diangkkat menjadi Nabi) [Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya: 1993: 63].
Riwayat di atas menimbulkan perdebatan theologies di kalangan Ahli Kalam (Theolog Muslim) bahkan para sahabat sekalipun: Apakah perjalanan itu secara fisik atau non-fisik (ru’yah [visi])? Selain umumnya umat Islam mempercayai kejadian itu secara fisik ada juga yang mempercayainya secara non-fisik, seperti ‘A’isyah RA misalnya, beliau mengatakan, “Tubuh Rasul berada di tempatnya ketika Allah memindahkan ruhnya pada malam itu.” Mu’awiyah juga katanya memberikan keterangan bahwa Israa’ itu betul-betul sebuah ru’yah dari Tuhan, demikian tulis Fuad Hashem.
Di luar kontroversi itu, ada pesan spiritual yang bijak dari Maulana Rahmat Ali, “Jauhilah perselisihan dalam soal (Israa’ dan) Mi’raj Rasulullah SAW. Serahkan saja hal itu kepada Allah SWT” (Miraj: 1949: 103).
Jauh lebih penting dari sekedar perdebatan theologis itu adalah bahwa di balik peristiwa Israa’ itu ada motivasi dari Nabi bahwa masa depan Islam itu cerah setelah mengalami kegelapan (lailan). Israa’ (perjalanan malam) itu simbol hijrahnya Rasul dan para sahabat ke negeri lain yaitu Medinah. Melalui hijrah inilah kemenangan Islam (Fatah Mekkah) akhirnya dapat dirasakan oleh umat Islam (QS 17:81 dan 9:33).
Kini kita hidup 15 abad setelah wafatnya beliau SAW. Kemenangan yang sejati adalah memenangkan perang terhadap keburukan moral dalam diri setiap Muslim (jihaadul akbar: jihaadun nafs). Sesuai ayat di atas (QS 17:1) kemajuan umat Islam sangat dipengaruhi oleh kegiatan umat dalam memakmurkan masjid. Karena dengan memakmurkan masjid maka akan terjadi 2 aktivitas yang strategis: hablum minallah (ibadah kepada Allah) dan hablum minan-naas (silaturahmi antar umat) sehingga terbuktilah bahwa umat Islam adalah rahmatal-lil-‘aalamiin.
(ZAKh, Ikd: 10/07/09)
Assalamu’alaikum wr.wb.
Para pembaca yang dimulyakan oleh Allah swt. sesama muslim, Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw adalah peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam, bahkan di negara kita peristiwa ini diperingati dengan sangat meriah dan hari H-nya dijadikan hari libur nasional.
Namun banyak diantara kita yang hanya puas dengan cerita dan kisah yang terus menerus tanpa tahu hakekatnya. Selain itu seringkali terjadi perbedaan yang cukup tajam, mengenai apakah peristiwa itu terjadi secara jasmani atau rohani.
Tulisan singkat ini mencoba menarik perhatian dan pikiran kita untuk direnungkan hakikat yang sebenarnya dari peristiwa tersebut supaya kita dapat mengambil hikmahnya.
Semoga para pembaca menemukan kebenaran. Amin Allahumma Amin!
Wassalam,
Penyusun
Perlu kita renungkan:
Jika peristiwa Isra Mi’raj merupakan peristiwa jasmani Rasulullah saw naik ke langit bertemu para nabi, mungkinkah seseorang dapat selamat naik ke atas melewati atmosfir tanpa terbakar serta dapatkah seseorang yang naik ke atas dengan susunan udara yang sedikit bahkan tanpa adanya O2 dapat tetap hidup?
Jika Rasulullah Saw. di langit beserta jasad-nya menjadi imam sholat berjamaah para nabi yang telah wafat (tinggal roh), maka sholat para roh di belakang orang berjasad apa artinya dan bagaimana cara berdirinya serta cara sholatnya? Bukankah hal ini merupakan pemandangan rohani belaka?
Apakah orang yang sudah meninggal masih tetap terkena hukum wajib seperti kita men-jalankan sholat? Bukankah Rasulullah saw mengatakan bahwa orang yang telah mati putus amalnya serta kewajibannya?
Jika sholat Nabi saw di langit tsb merupakan sunnah, bagaimana mungkin umatnya menjalankan sholat sunnah di langit seperti Rasulullah Saw tersebut?
Jika pemahaman umum menganggap Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan Nabi saw semalam dengan jasadnya, padahal Surat Al Isra’ ayat 60 menyatakan dengan jelas bahwa (ruya’).Dan Kami tidak menjadikan “ru`ya” yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia .. ( Al-Isra :60)
Kita semua sepakat dan tidak menyangkalnya bahwa orang yang bermimpi itu jelas orang yang sedang tidur! Bukankah hal ini memperkuat keyakinan kita bahwa peristiwa tersebut adalah pemandangan rohani belaka?
Para mufasirrin sepakat bahwa Surat Al Isra diturunkan sekitar setengah tahun/setahun sebelum Hijrah dari Mekah ke Madinah dan dalam surah itu sama sekali tidak menyebut sedikitpun tidak menyinggung kepergian Nabi saw ke langit, sedangkan Mi’raj dijelaskan pada Surat An Najm yang diturunkan sekitar tahun ke-5 dan 6 kenabian dan dalam surah itu tidak menyinggung soal isra.
Apakah Nabi saw menemui Tuhan harus naik ke langit, apa sewaktu di bumi tidak pernah bertemu dengan Tuhan? Jadi jelas jarak antara turunnya kedua surat tersebut selisih 6 tahun, maka sesuai saat turunnya kedua surat tersebut tidakkah urutannya menjadi Mi’raj dulu baru Isra’?.
Menurut pemahaman umum bahwa perintah sholat mulai difardhukan atau ditetapkan pada peristiwa Mi’raj ketika Nabi saw menghadap Tuhan, apabila paham ini benar serta dibenarkan pula paham Mi’raj terjadi ber-sama Isra merupakan satu peristiwa, maka jika demikian halnya berarti Rasulullah saw beserta umatnya mulai sholat baru sekitar 11 tahun sesudah diutus, apakah sebelumnya Rasulullah saw beserta umatnya belum menjalankan sholat?
Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw sampai naik turun beberapa kali agar Allah mengubah perintah shalat 50 kali sehari semalam menjadi hanya 5 kali. Apakah Allah yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana itu sebelumnya tidak mengetahui bahwa umat Muhammad saw tidak akan mampu menjalankan ibadah shalat 50 kali sehari semalam? Naudzubillah min dzalik! Mengapa Musa lebih mengetahui keberatan umat Nabi Muhammad saw, bukan Nabi saw sendiri yang kenal langsung umatnya yang mengajukan keringanan perintah shalat tersebut?
Sebaiknya kita terima paham yang lebih benar bukan sesuatu yang dirasakan ganjil dengan kisah-kisah yang tidak dapat diterima dengan akal sehat! Saya tidak menolak ayat2 Alquran tentang Isra dan Mi’raj juga tdk menolak hadis2 Isra dan hadis2 Mi’raj. Saya hanya mengajak kita untuk membuka cara pandang baru dan lebih masuk akal sehat dalam memahaminya.
Dalam hal Nabi saw dibelah dadanya, jantung dikeluarkan, dibersihkan kemudian diisi dengan iman dan hikmah ditampung dalam bejana emas. Kita yakin bahwa iman dan hikmah bukanlah benda yang dapat dibawa ditampung dalam bejana emas dan orang yang dibelah dan dibedah dadanya, jantungnya dikeluarkan mungkinkah beliau tetap hidup? Lalu yang dicuci di dalam jantung Nabi saw itu kotoran apa? Apakah masih perlu jantung beliau dibersihkan dari hal yang belum bersih? Lagi pula apakah tadinya jiwa Nabi saw itu kosong dari iman dan hikmah?
Bukankah hal ini merupakan pemandangan rohani (kasyaf dan ruya)belaka?
Dalam hadits Nabi saw melihat sungai Nil di Mesir dan sungai Eufrat di Irak berhubungan dengan 2 sungai sorga, jelas kita mengetahui bahwa kedua sungai tersebut ada dan bersumber air di bumi. Bukankah hal ini merupakan peristiwa ru-ya?
Dalam hadits diceritakan pula bahwa Jibril membuka atap rumah Nabi saw kemudian turun. Mengapa kali iniJibril sampai membuka atap rumah Nabi saw, padahal bertahun-tahun Nabi saw menerima kedatangan Jibril tanpa Benarkah atap rumah Nabi saw terbuka? Tidakkah hal ini membuktikan pemandangan rohani belaka?
Dalam hadits disebutkan bahwa sewaktu Nabi saw Mi’raj bersama Jibril, Jibril mengetuk pintu langit agar penjaga pintu membukanya! Apakah langit suatu bangunan atau benda berbentuk gedung yang ada pintunya? Apakah malaikat penjaga pintu tersebut tidak diberitahu bahwa ada tamu penting yang akan datang? Tidakkah hal ini membuktikan bahwa semua yang dialami oleh Nabi saw dalam Mi’raj hanyalah merupakan pemandangan rohani?
Jika Bouraq yang dikendarai Rasulullah saw berupa kuda dengan kepala seorang wanita yang cantik ini benar-, seharusnya sekarangpun binatang tersebut harus ada, ternyata hingga sekarangpun kita semua tidak pernah melihat ataupun mengenalnya, bukankah hal ini merupakan Dan apakah ada ayat Al Quran yang menjelaskan tentang binatang Bouraq tersebut?
Dan kita coba melihat arti dan rahasia yang tersimpan di dalam pemandangan rohani Nabi saw. dalam peristiwa erjalanan Nabi saw dari Makkah ke Masjidil Aqsha mengandung petunjuk bahwa Nabi saw bakal hijrah dari Makkah. Surat Al Isra’ ayat 1 yang artinya: “Masjidil Aqsha yang Kami berkati sekelilingnya”. Pada saat itu di Palestina belum ada masjidil Aqsha. Arti Masjidil Aqsha adalah masjid yang jauh, jarak antara Makkah ke Madinah ratusan kilometer. Tidakkah hal ini telah menjadi kenyataan bahwa Nabi saw benar telah hijrah dari Mekkah ke Madinah yang diberkati sekelilingnya?
Wassalamu ‘ala manittaba’al huda wa akhiru da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar