Maha Suci Dia, Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari
Masjid Haram ke Masjid Aqsha, yang telah Kami berkati, sekelilingnya
supaya Kami perlihatkan kepadanya sebagaian dari Tanda-tanda Kami.
Sesungguhnya Dia, Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Surah al-Isra)
Ayat ini, yang nampaknya menyebut suatu kasyaf Rasulullah saw., telah
dianggap oleh sebagian ahli tafsir Alquran menunjuk kepada Mi’raj
(kenaikan rohani) beliau. Berlawanan dengan pendapat umum, kami
cenderung kepada pendapat, bahwa ayat ini membahas masalah Isra
(perjalanan rohani di waktu malam) Rasulullah saw. dari Mekkah ke
Yerusalem dalam kasyaf, sedang Mi’raj beliau telah dibahas agak
terperinci dalam Surah An-Najm.
Semua kejadian yang disebut dalam Surah An-Najm (ayat-ayat 8 – 18)
yang telah diwahyu kan tidak lama sesudah hijrah ke Abessinia, yang
telah terjadi di bulan Rajab tahun ke 5 nabawi, diceriterakan secara
terperinci dalam buku-buku hadist yang membahas Miraj Rasulullah saw.,
sedang Isra Rasulullah saw. dari Mekkah ke Yerusalem, yang dibahas oleh
ayat ini, menurut Zurqani terjadi pada tahun ke-11 nabawi ; menurut Muir
dan beberapa pengarang Kristen lainnya pada tahun ke-12. Tetapi menurut
Mardawaih dan Ibn Sa’d, perintiwa Isra terjadi pada 17 Rabiul-awal,
setahun sebelum hijrah (Al-Khashaish al-Kubra) . Baihaqi pun
menceriterakan, bahwa Isra itu terjadi setahun atau enam bulan sebelum
hijrah.
Dengan demikian semua hadist yang bersangkutan dengan persoalan ini
menunjukkan, bahwa Isra itu terjadi setahun atau enam bulan sebelum
hijrah, yaitu kira-kita pada tahun ke-12 nabawi, setelah Siti Khadijah
wafat, yang terjadi pada tahun ke-10 nabawi, ketika Rasulullah saw.
tinggal bersama-sama dengan Ummi Hani, saudari sepupu beliau.
Tetapi Mi’raj, menurut pendapat sebagian terbesar ulama, terjadi
kira-kira pada tahun ke-5 nabawi. Dengan demikian dua kejadian itu
dipisahkan satu dengan yang lain oleh jarak waktu enam atau tujuh tahun,
dan oleh karenanya kedua kejadian itu tidak mungkin sama ; yang satu
harus dianggap berbeda dan terpisah dari yang lain. Lagi pula
peristiwa-peristiwa yang menurut hadist terjadi dalam Mi’raj Rasulullah
saw. sama sekali berbeda dalam sifatnya dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam Isra. Secara sambil lalu dapat disebutkan di sini, bahwa
kedua peristiwa itu hanya kejadian-kejadian rohani belaka, dan
Rasulullah saw. tidak naik ke langit atau pergi ke Yerusalem dengan
tubuh kasar.
Kecuali kesaksian sejarah yang kuat ini, ada pula kejadian-kejadian
lain yang berkaitan dengan peristiwa itu mendukung pendapat, bahwa
kejadian itu sama sekali berbeda dan terpisah satu sama lain :
Alquran menguraikan kejadian Mi’raj Rasulullah saw. dalam surah 53,
tetapi sedikit pun tidak menyinggung Isra, sedang dalam Surah ini
Alquran membahas soal Isra, tetapi sedikit pun tidak menyinggung
peristiwa Mi’raj.
Ummi Hani, saudari sepupu Rasulullah saw. yang di rumahnya beliau
menginap pada malam peristiwa Isra terjadi, hanya membicarakan
perjalanan Rasulullah saw. ke Yerusalem, dan sama sekali tidak
menyinggung kenaikan beliau ke langit. Ummi Hani itu orang pertama yang
kepadanya Rasulullah saw. menceriterakan perjalanan beliau di waktu
malam ke Yerusalem, dan paling sedikit tujuh penghimpun riwayat-riwayat
hadist telah mengutip keterangan Ummi Hani mengenai kejadian ini, yang
bersum-ber pada empat perawi yang berlain-lainan. Semua perawi ini
sepakat, bahwa Rasulullah saw. berangkat ke Yerusalem dan pulang kembali
ke Mekkah pada malam itu juga.
Jika sekiranya Rasulullah saw. telah membicarakan pula kenaikan
beliau ke langit, tentu Ummi Hani tidak akan lupa menyebutkan hal ini
dalam salah satu riwayatnya. Tetapi beliau tidak menyebut hal itu dalam
satu riwayat pun ; dengan demikian menunjukkan dengan pasti , bahwa pada
malam yang bersangkutan itu Rasulullah saw. melakukan Isra hanya sampai
Yerusalem ; dan bahwa Mi’raj itu tidak terjadi pada ketika itu.
Nampaknya beberapa perawi hadist mencampur baurkan kedua peristiwa Isra
dan Mi’raj itu. Rupanya pikiran mereka dikacaukan persamaan yang
terdapat pada beberapa uraian terperinci mengenai Isra dan Mi’raj telah
menambah dan memperkuat pendapat mereka yang kacau balau itu.
Hadist-hadist yang mula-mula meriwayatkan perjalanan Rasulullah saw.
ke Yerusalem dan selanjutnya mengenai kenaikan beliau dari sana ke
langit, menyebut pula bahwa di Yerusa lem dan selanjutnya mengenai
kenaikan beliau dari sana ke langit, menyebut pula bahwa di Yerusalem
beliau bertemu dengan beberapa nabi terdahulu, termasuk Adam as.,
Ibrahim as., Musa as., dan Isa as. ; dan bahwa di berbagai petala langit
beliau menemui nabi-nabi yang itu-itu juga, tetapi tidak dapat mengenal
mereka. Bagaimanakah nabi-nabi tersebut, yang telah beliau jumpai di
Yerusalem, sampai pula ke langit sebelum beliau; dan mengapa beliau
tidak mengenali mereka, sedang beliau telah melihat mereka beberapa saat
sebelumnya dalam perjalanan itu-itu juga ? Tidaklah masuk akal, bahwa
beliau tidak dapat mengenal mereka, padahal hanya beberapa saat sebelum
itu, beliau bertemu dengan mereka dalam perjalanan itu juga.
Masjid Aqsha (masjid yang jauh) menunjuk kepada rumah peribadatan (kenisah) yang didirikan oleh Nabi Sulaiman as. di Yerusalem.
Kasyaf Rasulullah saw. yang disebut dalam ayat ini mengandung suatu
nubuatan yang agung. Perjalanan beliau ke “Masjid Aqsha “ berarti hijrah
beliau ke Medinah, tempat beliau akan mendirikan suatu masjid, yang
ditakdirkan kelak akan menjadi masjid pusat Islam, dan penglihatan diri
beliau sendiri dalam kasyaf, bahwa beliau mengimani pada nabi lainnya
dalam shalat mengandung arti, bahwa agama baru, ialah Islam, tidak akan
terkurung di tempat kelahirannya saja, melainkan akan tersebar ke
seantero dunia, dan pengikut-pengikut dari semua agama akan
menggabungkan diri kepadanya.
Kepergian beliau ke Yerusalem dalam kasyaf dapat pula dianggap
mengandung arti, bahwa beliau akan diberi kekuasaan di masa khilafat
(kekhalifahan) Sayyidina Umar ra. Kasyaf ini dapat pula diartikan
sebagai petunjuk kepadasuatu perjalanan rohani Rasulullah saw. ke suatu
negara jauh, di suatu masa yang akan datang. Maksudnya bahwa ketika
kegelapan rohani akan menutupi seluruh dunia, Rasulullah saw. akan
muncul kembali secara rohani dalam wujud salah seorang pengikut beliau,
dalam satu negara yang sangat jauh dari tempat pertama beliau diutus.
ISRA’ DAN MASA DEPAN UMAT
Oleh ZA Khudori
Pemerhati Masalah-masalah Sosial Keagamaan
Tinggal di Tegineneng, Pesawaran (Lampung)
Kemajuan suatu kaum sesungguhnya telah dinubuatkan (direncanakan)
oleh Allah SWT. Termasuk umat Islam. Untuk melukiskan kemajuan umat
Islam, Allah SWT telah memperlihatkan sebuah pengalaman rohani yang
dikenal dengan istilah Israa’ (memperjalankan di malam hari). Al-Quran
mengabadikan pengalaman tersebut dalam Surat 17 (Al-Israa’/Bani Israil):
1, “’Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”. Dalam muqaddimah Surat ini, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Quran (SK MENAGRI No. 26 Tahun 1967; Edisi
Baru, 1993) menyebutkan bahwa Surat ini dinamakan Al-Israa’ (yang
berarti ‘memperjalankan di malam hari’) berhubungan dengan peristiwa
Israa’ Nabi Muhammad SAW di Masjidil Haram (Mekkah) ke Mesjidil Aqsha
(di Baitul Makdis) dicantumkan pada ayat pertama dalam Surat ini.
Sejarah mencatat bahwa Muhammad bin Abdullah diangkat sebagai Nabi
dan diutus sebagai Rasul pada usia 40 tahun (610 M). Lima tahun pertama
dalam menjalankan tugasnya telah beriman sebagian kecil kaum Kafir
Quraisy. Para pengikut Nabi pada masa awal ini mendapat respon negatif
berupa intimidasi dan tindakan kekerasan dari keluarga dan kawan
sepermainan mereka. Atas izin Nabi akhirnya para sahabat itu hijrah ke
negeri tetangga, Habasyah (Ethiopia) [615 M]. Sebuah negeri yang
dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Seorang raja yang
memberikan kebebasan dan perlindungan kepada masyarakatnya dalam
menjalankan agama dan kepercayaannya.
Meskipun banyak hambatan dan rintangan, perkembangan ajaran Islam
terus maju. Istilahnya ‘padat-merayap’ dan ‘maju terus pantang mundur’.
Menyikapi hal ini para pembesar Quraisy mengambil sikap tegas yaitu
memboikot Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Caranya ialah dengan
memutuskan segala perhubungan: hubungan perkawinan, jual-beli,
ziarah-menziarahi dan lain-lain (Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya:
1993: 62). Dalam masa pemboikotan ini wafat dua orang tercinta Nabi SAW:
Pamanda Abu Thalib (87) dan Istrinda Khadijah (65). Begitu berdukanya
Nabi sehingga tahun tersebut (620 M) oleh ahli sejarah dinamakan ‘Aamul
Huzni (Tahun Dukacita).
Untuk menenangkan hatinya maka Nabi tinggal bersama sepupunya, Ummu
Hani. Seperti reportase ahli sejarah kenamaan Ibnu Ishaq, sejarawan ini
melaporkan, “Telah sampai kepada saya dari Ummu Hani binti Abu Thalib
(nama aslinya: Hindun) mengenai perjalanan malam (Israa’) Nabi SAW.
Katanya, “Nabi SAW hanya mengadakan perjalanan ke Baitul Maqdis ketika
berada di rumah saya. Malam itu Nabi SAW tidur di rumah saya dan kami
semua sedang tidur” (Fuad Hasyem: 1898: 222).
Dalam keadaan tidur inilah beliau SAW melihat berbagai peritiwa yang
Nabi sendiri tuturkan (diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudriy), “Sudah
dikirimkan kepada saya seekor hewan dan ia menyerupai bighal (peranakan
kuda dengan keledai), Buraq namanya, dan biasa dikendarai oleh para
nabi. Buraq itu membawa saya dan ia bisa melangkahkan kaki depannya
sejauh mata memandang” (Taufik Rahman: 1990: 62).
Mengenai perjalanan selanjutnya, kita dapat membaca Hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik (Ibnu Jarir Juz 15 hlm. 6). Mengingat
panjangnya riwayat tersebut maka ringkasannya ialah sebagai berikut:
Nabi dan Malaikat Jibril naik Buraq dari Masjid Al-Haran ke Masjid
Al-Aqsha. Dalam perjalanan tersebut beliau-beliau bertemu dengan:
seseorang yang memanggil-manggil Nabi, beberapa orang yang mengucapkan
salam dan beberapa orang lagi melakukan hal yang sama. Dan tibalah
beliau-beliau di Baitul Muqaddas. Lalu beliau memimpin shalat di mana
makmumnya ialah para nabi. Setelah itu Malaikat Jibril menghadapkan 3
gelas kepada Rasulullah SAW. Gelas pertama berisi air, gelas kedua
berisi arak dan gelas ketiga berisi susu. Rasulullah SAW mengambil gelas
berisi susu, lalu beliau meminumnya. Setelah itu Malaikat Jibril
menjelaskan apa saja makna yang tersirat dari apa yang telah beliau
lihat itu (baca: QS 17:60). Peristiwa itu terjadi pada malam 27 Rajab 11
Nubuwwah (setelah beliau diangkkat menjadi Nabi) [Muqaddimah Al-Qur’an
dan Terjemahnya: 1993: 63].
Riwayat di atas menimbulkan perdebatan theologies di kalangan Ahli
Kalam (Theolog Muslim) bahkan para sahabat sekalipun: Apakah perjalanan
itu secara fisik atau non-fisik (ru’yah [visi])? Selain umumnya umat
Islam mempercayai kejadian itu secara fisik ada juga yang mempercayainya
secara non-fisik, seperti ‘A’isyah RA misalnya, beliau mengatakan,
“Tubuh Rasul berada di tempatnya ketika Allah memindahkan ruhnya pada
malam itu.” Mu’awiyah juga katanya memberikan keterangan bahwa Israa’
itu betul-betul sebuah ru’yah dari Tuhan, demikian tulis Fuad Hashem.
Di luar kontroversi itu, ada pesan spiritual yang bijak dari Maulana
Rahmat Ali, “Jauhilah perselisihan dalam soal (Israa’ dan) Mi’raj
Rasulullah SAW. Serahkan saja hal itu kepada Allah SWT” (Miraj: 1949:
103).
Jauh lebih penting dari sekedar perdebatan theologis itu adalah bahwa
di balik peristiwa Israa’ itu ada motivasi dari Nabi bahwa masa depan
Islam itu cerah setelah mengalami kegelapan (lailan). Israa’ (perjalanan
malam) itu simbol hijrahnya Rasul dan para sahabat ke negeri lain yaitu
Medinah. Melalui hijrah inilah kemenangan Islam (Fatah Mekkah) akhirnya
dapat dirasakan oleh umat Islam (QS 17:81 dan 9:33).
Kini kita hidup 15 abad setelah wafatnya beliau SAW. Kemenangan yang
sejati adalah memenangkan perang terhadap keburukan moral dalam diri
setiap Muslim (jihaadul akbar: jihaadun nafs). Sesuai ayat di atas (QS
17:1) kemajuan umat Islam sangat dipengaruhi oleh kegiatan umat dalam
memakmurkan masjid. Karena dengan memakmurkan masjid maka akan terjadi 2
aktivitas yang strategis: hablum minallah (ibadah kepada Allah) dan
hablum minan-naas (silaturahmi antar umat) sehingga terbuktilah bahwa
umat Islam adalah rahmatal-lil-‘aalamiin.
(ZAKh, Ikd: 10/07/09)
Assalamu’alaikum wr.wb.
Para pembaca yang dimulyakan oleh Allah swt. sesama muslim, Isra’
Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw adalah peristiwa penting dalam sejarah
perkembangan Islam, bahkan di negara kita peristiwa ini diperingati
dengan sangat meriah dan hari H-nya dijadikan hari libur nasional.
Namun banyak diantara kita yang hanya puas dengan cerita dan kisah
yang terus menerus tanpa tahu hakekatnya. Selain itu seringkali terjadi
perbedaan yang cukup tajam, mengenai apakah peristiwa itu terjadi secara
jasmani atau rohani.
Tulisan singkat ini mencoba menarik perhatian dan pikiran kita untuk
direnungkan hakikat yang sebenarnya dari peristiwa tersebut supaya kita
dapat mengambil hikmahnya.
Semoga para pembaca menemukan kebenaran. Amin Allahumma Amin!
Wassalam,
Penyusun
Perlu kita renungkan:
Jika peristiwa Isra Mi’raj merupakan peristiwa jasmani Rasulullah saw
naik ke langit bertemu para nabi, mungkinkah seseorang dapat selamat
naik ke atas melewati atmosfir tanpa terbakar serta dapatkah seseorang
yang naik ke atas dengan susunan udara yang sedikit bahkan tanpa adanya
O2 dapat tetap hidup?
Jika Rasulullah Saw. di langit beserta jasad-nya menjadi imam sholat
berjamaah para nabi yang telah wafat (tinggal roh), maka sholat para roh
di belakang orang berjasad apa artinya dan bagaimana cara berdirinya
serta cara sholatnya? Bukankah hal ini merupakan pemandangan rohani
belaka?
Apakah orang yang sudah meninggal masih tetap terkena hukum wajib
seperti kita men-jalankan sholat? Bukankah Rasulullah saw mengatakan
bahwa orang yang telah mati putus amalnya serta kewajibannya?
Jika sholat Nabi saw di langit tsb merupakan sunnah, bagaimana
mungkin umatnya menjalankan sholat sunnah di langit seperti Rasulullah
Saw tersebut?
Jika pemahaman umum menganggap Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan Nabi
saw semalam dengan jasadnya, padahal Surat Al Isra’ ayat 60 menyatakan
dengan jelas bahwa (ruya’).Dan Kami tidak menjadikan “ru`ya” yang telah
Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia .. (
Al-Isra :60)
Kita semua sepakat dan tidak menyangkalnya bahwa orang yang bermimpi
itu jelas orang yang sedang tidur! Bukankah hal ini memperkuat keyakinan
kita bahwa peristiwa tersebut adalah pemandangan rohani belaka?
Para mufasirrin sepakat bahwa Surat Al Isra diturunkan sekitar
setengah tahun/setahun sebelum Hijrah dari Mekah ke Madinah dan dalam
surah itu sama sekali tidak menyebut sedikitpun tidak menyinggung
kepergian Nabi saw ke langit, sedangkan Mi’raj dijelaskan pada Surat An
Najm yang diturunkan sekitar tahun ke-5 dan 6 kenabian dan dalam surah
itu tidak menyinggung soal isra.
Apakah Nabi saw menemui Tuhan harus naik ke langit, apa sewaktu di
bumi tidak pernah bertemu dengan Tuhan? Jadi jelas jarak antara turunnya
kedua surat tersebut selisih 6 tahun, maka sesuai saat turunnya kedua
surat tersebut tidakkah urutannya menjadi Mi’raj dulu baru Isra’?.
Menurut pemahaman umum bahwa perintah sholat mulai difardhukan atau
ditetapkan pada peristiwa Mi’raj ketika Nabi saw menghadap Tuhan,
apabila paham ini benar serta dibenarkan pula paham Mi’raj terjadi
ber-sama Isra merupakan satu peristiwa, maka jika demikian halnya
berarti Rasulullah saw beserta umatnya mulai sholat baru sekitar 11
tahun sesudah diutus, apakah sebelumnya Rasulullah saw beserta umatnya
belum menjalankan sholat?
Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw sampai naik turun beberapa
kali agar Allah mengubah perintah shalat 50 kali sehari semalam menjadi
hanya 5 kali. Apakah Allah yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana itu
sebelumnya tidak mengetahui bahwa umat Muhammad saw tidak akan mampu
menjalankan ibadah shalat 50 kali sehari semalam? Naudzubillah min
dzalik! Mengapa Musa lebih mengetahui keberatan umat Nabi Muhammad saw,
bukan Nabi saw sendiri yang kenal langsung umatnya yang mengajukan
keringanan perintah shalat tersebut?
Sebaiknya kita terima paham yang lebih benar bukan sesuatu yang
dirasakan ganjil dengan kisah-kisah yang tidak dapat diterima dengan
akal sehat! Saya tidak menolak ayat2 Alquran tentang Isra dan Mi’raj
juga tdk menolak hadis2 Isra dan hadis2 Mi’raj. Saya hanya mengajak kita
untuk membuka cara pandang baru dan lebih masuk akal sehat dalam
memahaminya.
Dalam hal Nabi saw dibelah dadanya, jantung dikeluarkan, dibersihkan
kemudian diisi dengan iman dan hikmah ditampung dalam bejana emas. Kita
yakin bahwa iman dan hikmah bukanlah benda yang dapat dibawa ditampung
dalam bejana emas dan orang yang dibelah dan dibedah dadanya, jantungnya
dikeluarkan mungkinkah beliau tetap hidup? Lalu yang dicuci di dalam
jantung Nabi saw itu kotoran apa? Apakah masih perlu jantung beliau
dibersihkan dari hal yang belum bersih? Lagi pula apakah tadinya jiwa
Nabi saw itu kosong dari iman dan hikmah?
Bukankah hal ini merupakan pemandangan rohani (kasyaf dan ruya)belaka?
Dalam hadits Nabi saw melihat sungai Nil di Mesir dan sungai Eufrat
di Irak berhubungan dengan 2 sungai sorga, jelas kita mengetahui bahwa
kedua sungai tersebut ada dan bersumber air di bumi. Bukankah hal ini
merupakan peristiwa ru-ya?
Dalam hadits diceritakan pula bahwa Jibril membuka atap rumah Nabi
saw kemudian turun. Mengapa kali iniJibril sampai membuka atap rumah
Nabi saw, padahal bertahun-tahun Nabi saw menerima kedatangan Jibril
tanpa Benarkah atap rumah Nabi saw terbuka? Tidakkah hal ini membuktikan
pemandangan rohani belaka?
Dalam hadits disebutkan bahwa sewaktu Nabi saw Mi’raj bersama Jibril,
Jibril mengetuk pintu langit agar penjaga pintu membukanya! Apakah
langit suatu bangunan atau benda berbentuk gedung yang ada pintunya?
Apakah malaikat penjaga pintu tersebut tidak diberitahu bahwa ada tamu
penting yang akan datang? Tidakkah hal ini membuktikan bahwa semua yang
dialami oleh Nabi saw dalam Mi’raj hanyalah merupakan pemandangan
rohani?
Jika Bouraq yang dikendarai Rasulullah saw berupa kuda dengan kepala
seorang wanita yang cantik ini benar-, seharusnya sekarangpun binatang
tersebut harus ada, ternyata hingga sekarangpun kita semua tidak pernah
melihat ataupun mengenalnya, bukankah hal ini merupakan Dan apakah ada
ayat Al Quran yang menjelaskan tentang binatang Bouraq tersebut?
Dan kita coba melihat arti dan rahasia yang tersimpan di dalam
pemandangan rohani Nabi saw. dalam peristiwa erjalanan Nabi saw dari
Makkah ke Masjidil Aqsha mengandung petunjuk bahwa Nabi saw bakal hijrah
dari Makkah. Surat Al Isra’ ayat 1 yang artinya: “Masjidil Aqsha yang
Kami berkati sekelilingnya”. Pada saat itu di Palestina belum ada
masjidil Aqsha. Arti Masjidil Aqsha adalah masjid yang jauh, jarak
antara Makkah ke Madinah ratusan kilometer. Tidakkah hal ini telah
menjadi kenyataan bahwa Nabi saw benar telah hijrah dari Mekkah ke
Madinah yang diberkati sekelilingnya?
Wassalamu ‘ala manittaba’al huda wa akhiru da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar